internet, ANKARA -- Turki menduduki peringkat kedua setelah Cina dalam hal permintaan pelarangan konten internet, merujuk sebuah laporan terbaru dari Economic Policy Research Foundation Turki (TEPAV).
Turki berada di tengah-tengah undang-undang Internet baru yang kontroversial karena dilaporkan telah meningkatkan pembatasan dan kekuasaan pemerintah terhadap internet sehari-hari secara radikal.
Laporan itu muncul bertepatan dengan protes-protes yang digelar di sejumlah kota untuk menentang undang-undang internet yang kontroversial dan mengizinkan kantor pemerintah, Telecommunications Communications Presidency (TIB), memblokade akses internet.
Terutama terhadap website tanpa perintah pengadilan jika situs itu dianggap melanggar privasi atau mengandung konten penghinaan. Pada Sabtu (8/2), polisi menggunakan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan para demonstran di pusat kota Istanbul selama aksi unjuk rasa menentang undang-undang itu.
Ratusan orang berkumpul di Galatassaray Square di İstiklal Avenue pasca seruan media sosial untuk melakukan protes menentang pembatasan-pembatasan yang telah dikritik oleh berbagai institusi dan kelompok hak asasi manusia, sejak pekan lalu.
Undang-undang internet telah diterima Parlemen pada Rabu (6/2) lalu. UU memberikan kewenangan untuk memblokade akses terhadap web page pimpinan TIB. Hal ini dilihat secara luas sebagai gerakan pemerintah untuk meningkatkan kontrol terhadap aktifitas-aktifitas online warga sipil.
Sebelumnya, Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdoggan telah menolak berbagai kritik terhadap sejumlah pembatasan internet dengan tindakan keras "Peraturan-peraturan ini tidak memaksakan penyensoran pada semua internet. Sebaliknya, mereka membuatnya lebih nyaman dan lebih bebas," kata Erdogan.
from GOOGLENEWS-V5 Indo copy http://ift.tt/1bCqMCa
via IFTTT